Minggu, 31 Maret 2013

DAYA SAING PARIWISATA INDONESIA

Mungkinkah daya saing pariwisata suatu bangsa diukur dari jumlah wisman yang berkunjung ke negaranya? Meski penting, tentu saja jumlah kunjungan bukan segala-galanya. Maka sekalipun data-data yang dikeluarkan oleh Biro Pusat Statistik menunjukkan wisman yang datang sudah berangsur-angsur kembali normal, tidak ada jaminan bangsa Indonesia telah dapat menikmatinya kembali. Dibutuhkan eksplorasi data yang lebih dalam untuk membaca apakah kita telah berada pada trek yang benar dan mensejahterakan. Data yang dikeluarkan oleh The World Travel & Tourism Council (WTTC, 2003) menunjukkan, satu-satunya factor yang menguntungkan Indonesia hanyalah harga (Price Competitiveness Index). Artinya, mereka datang karena mendengar berwisata di Indonesia murah. Bagi pengusaha ini berarti harus beroperasi dengan marjin tipis, atau bahkan tanpa marjin sama sekali. Maka tak mengherankan bila pelaku usaha pariwisata masih berteriak, “Sudah banting tulang dan banting otot, tetap saja pas-pasan.” Bagaimanakah mengangkat kembali keunggulan daya saing pariwisata Indonesia yang nyaris terpuruk ini?


Tentu saja kita tak perlu bermimpi terlalu indah dengan berambisi menjadi pemimpin pasar pariwisata dunia seperti yang telah diraih oleh Perancis (86 juta wisman), Spanyol (58 juta), Amerika Serikat (54 juta), Italia (45 juta), atau China (36 juta) (lihat Tabel 1). Dengan jumlah wisman sebesar 5 jutaan tahun lalu, kalau dijalankan dengan tekad yang penuh, dengan strategi yang tepat, kita bisa menghasilkan dolar tiga kali lipat dari sekarang. Bahkan tak tertutup kemungkinan pula bagi kita menyalib jumlah wisman yang telah diraih oleh dua negara tetangga kita (Malaysia dengan 9,85 juta, atau Thailand 10, 67 juta), dan mengungguli Yunani yang sudah mencapai 14,21 juta wisman.

Daya Saing Harga = Segmen Bawah

Setelah mengutak-atik data tentang daya saing pariwisata global yang dikeluarkan oleh WTTC (2003), saya sampai pada suatu kesimpulan bahwa kita telah sangat tergantung kepada segmen pasar yang kurang menguntungkan. Seperti tampak pada Tabel 2, skor indeks daya saing harga produk pariwisata kita relatif sangat tinggi, yaitu 81 (dimana 1 berarti sangat tidak kompetitif atau sangat mahal, dan 100 berarti sangat kompetitif atau sangat murah) dan berada pada peringkat 8. Sementara Thailand berada di tingkat 36 dengan skor indeks 67, dan Malaysia di peringkat 52 dengan skor 58. Sedangkan Singapore, sudah terkesan mahal di peringkat 110 dengan skor 20. Artinya, mereka bisa menjual produk dan layanan jasanya dengan harga yang jauh lebih baik daripada kita.

Skor daya saing harga setinggi itu hanya berbeda sedikit dengan negara-negara terbelakang yang keindahan alamnya jauh di bawah Indonesia, seperti Togo (indeks 84, peringkat 6), Nikaragua ( 86, peringkat 5 ), Swaziland (88,6, peringkat 4), dan Laos (100, peringkat pertama). Di negara-negara tersebut campur tangan pemerintah dan bantuan-bantuan internasional masih sangat besar, tuntutan masyarakatnya pun belum tinggi sehingga taraf hidupnya masih rendah. Kualitas layanan jasanya pun belum begitu tinggi. Belum banyak hotel bintang lima berkualitas, misalnya. Jadi wajar bila segala sesuatunya masih terbilang murah. Di Indonesia kondisi sekaliknya terjadi. Layanan dan fasilitas sangat beragam, mulai dari melati, bintang lima, hingga boutique hotel. Tetapi sebagian besar dijual di bawah strandar harga yang layak bagi kelasnya.

Tanpa diimbangi dengan competitiveness pada skor-skor lainnya, impian Indonesia mendulang devisa dari sector pariwisata hanya akan menjadi tinggal kenangan. Maka, kendati jumlah wisman yang datang ke Indonesia (5, 17 juta) sudah mendekati wisman yang datang ke Australia (5,37 juta), nilai konsumsi wisatawannya baru sepertiganya (US$ 16,17 juta, bandingkan dengan US$ 50,23 juta). Idealnya, negara yang indah ini bisa menghasilkan nilai konsumsi antara US$ 20 hingga US$ 25 juta.

Indeks di atas menunjukkan beberapa persoalan besar bangsa ini yang sesungguhnya tidak terlalu sulit untuk di atasi. Kita harus mulai terbiasa berpikir strategis, namun bekerja secara praktis. Artinya, mulailah dengan rencana strategis yang melibatkan pelaku-pelaku usahanya secara utuh, dan ciptakanlah kesejahteraan melalui tangan-tangan mereka. Kita harus mulai berani menerima kenyataan bahwa kesejahteraan tidak diciptakan pada dataran makro (negara), melainkan mikro (pengusaha), dan kesejahteraan berarti menghasilkan sesuatu secara produktif, bukan melalui karya-karya yang murah. Marilah kita lihat implikasi strategis dari kenyataan pertama indeks keunggulan dayasaing harga.

Pertama, price competititiveness tidak sama dengan cost competitiveness. Setiap pelaku usaha dalam jasa pariwisata mutlak mencari upaya-upaya untuk mendapatkan kondisi biaya yang rendah. Tetapi kondisi ini tidak boleh dibatasi oleh perangkap harga murah. Strategi komunikasi yang salah bisa membuat pelaku-pelaku usahanya terperangkap dalam jebakan para agent yang menetapkan harga penderitaan, yaitu harga sekedar hidup agar ada perputaran uang. Harap diingat harga jasa pariwisata adalah sebuah bentuk komunikasi. Ia merupakan hasil dialog yang mencerminkan seberapa tinggi manfaat atau nilai yang bersedia dibayar wisatawan.

Kedua, keunggulan daya saing dalam bentuk harga mendatangkan segmen yang terdiri dari kalangan muda yang tidak loyal, mudah berpindah ke daerah tujuan wisata alternatif, sensitif terhadap diskon, dan tidak banyak membeli oleh-oleh. Mereka umumnya adalah kaum muda, single, backpackers, pergi berkelompok, mencari petualangan, menyukai keramaian, dan belum mampu menkonsumsi jasa-jasa berkualitas tinggi. Ketiga, selain sensitif terhadap harga, mereka juga rawan terhadap issue, karena tujuan bepergiannya semata-mata untuk mencari kesenangan. Akibatnya, segmen ini sangat fragile bagi perekonomian, dan rawan bagi kesinambungan usaha. Keempat, mereka kurang berkepentingan terhadap pasokan barang-barang seni, kerajinan, atau industri penopang pariwisata. Segmen ini berbeda dengan kalangan bisnis, atau wisman berusia 40-an, yang datang dengan pasangannya dan sangat menaruh perhatian terhadap ekologi dan clusters pariwisata.

Kelima, lebih jauh ketergantungan pada segmen ini akan berakibat ketidakseimbangan pada matarantai usaha (the value chain), dan keserasian product-market. Keselarasan dapat diibaratkan seorang wisatawan bintang lima bersepatu Bally akan memakai bolpoin Mountblanc. Di Pulau Bali, ditemui 20% wisatawan yang datang adalah wisman bintang lima , bersepatu Bally, namun disakunya hanya tergantung bolpoin pilot. Mereka menginap di hotel Intercon, Pitamaha, Four Seasons, Ritz Carlton atau Amandari. Tapi manakala perutnya sakit, hanya bisa berobat di Rumah Sakit Umum Milik Pemerintah di Sanglah dengan obat generic. Indikator ini mencerminkan kurangnya pemikiran pentingnya upaya peningkatan daya saing secara strategis dengan memperhatikan elemen-elemen penting pada cluster pariwisata. Rumah Sakit, Sekolah, hiburan, tarian dan budaya, dan produk-produk oleh-oleh adalah bagian dari cluster pariwisata yang sama pentingnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar