Jumat, 29 Maret 2013

Korelasi Budidaya Tanaman dan Paten

Korelasi Budidaya Tanaman dan Paten 

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman Pasal 1 ayat (6) menyatakan, sertifikasi adalah proses pemberian sertifikat benih tanaman setelah melalui pemeriksaan, pengujian dan pengawasan serta memenuhi semua persyaratan untuk diedarkan. 

Sertifikasi yang dimaksud dalam pasal di atas adalah izin untuk mengedarkan benih, bahwa benih yang akan diedarkan harus memenuhi standar mutu yang telah ditetapkan. Tidak menjadi masalah, apakah benih tersebut sudah dimiliki hak PVTnya oleh orang lain atau belum. Sedangkan hak PVT adalah sertifikat untuk menguasai benih atau varietas baru agar tidak diikuti oleh orang lain. Jadi, garis perbedaannya terletak pada fungsinya. Jika dalam Undang-Undang Sistem Budidaya Tanaman sertifikasi berfungsi sebagai izin pengedaran benih, sedangkan dalam Undang-Undang PVT sertifikasi berfungsi sebagai penguasaan terhadap benih atau varietas baru. 

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman Pasal 48 ayat (1) menguraikan, “Perorangan warga negara Indonesia atau badan hukum sebagaimana dimaksud dalam pasal 47 ayat (1) yang melakukan usaha sistem budidaya tanaman tertentu di atas skala tertentu wajib memiiki izin. 

Pasal di atas menjelaskan bahwa usaha sistem budidaya tanaman dalam skala tertentu harus memiliki izin. Memang tidak disebutkan secara eksplisit apa yang menjadi ukuran skala tertentu. Tapi pasal tersebut mempunyai konsekuensi logis bahwa usaha budidaya tanaman yang dilakukan oleh petani kecil di Kediri tidak memerlukan izin peredarannya. Sedangkan mengenai hak PVT, dalam Undang-Undang PVT sendiri tidak disebutkan bahwa setiap varietas baru harus didaftarkan. Karena sebenarnya diberikannya perlindungan PVT oleh pemerintah adalah untuk pihak yang menginginkan varietasnya tidak diikuti oleh orang lain demi keperluan perhitungan ekonomi. 



Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Hak Paten memaparkan, Pasal 1 ayat (1): “Paten adalah hak ekslusif diberikan oleh negara kepada inventor atas hasil invensinya di bidang teknologi yang untuk selama waktu tertentu melaksanakan invensinya tersebut atau memberikan persetujuannya kepada pihak lain untuk melaksanakannya.” 

Pasal 2: “Paten diberikan untuk invensi yang baru dan mengandung langkah infentif serta dapat diterapkan dalam industri.”  Pasal 7 huruf d angka ii: “Paten tidak diberikan untuk invensi tentang proses biologis yang esensial untuk memproduksi tanaman atau hewan, kecuali proses non biologis atau mikro biologis.” 

Inti dari Undang-Undang Paten jelas sekali perbedaannya dengan Undang-Undang PVT, karena Undang-Undang Paten hanya diberikan kepada bidang tekhnologi, kalaupun diberikan kepada tanaman dan hewan hanya pada proses non-biologis dan mikro biologis. Sedangkan perkembangbiakan yang terjadi pada jagung yang ditanam oleh para petani jelas merupakan proses biologis. Sehingga kalau petani Kediri ingin menguasai varietas barunya hanya bisa didaftarkan melalui permohonan hak PVT, dan tidak dapat diminta prosedur permohonan paten. 

Berdasarkan kajian dan analisa-analisa hukum tersebut di atas, pak Tukirin bisa dikatakan telah memenuhi unsur sertifikasi liar sebagaimana diatur dalam pasal 14 Undang-Undang Nomor 12 tahun 1992 tentang Sistem budidaya Tanaman. Tetapi tidak untuk pelanggaran paten dan rahasia dagang. 

Walaupun dalam kasus ini Pak Tukirin hanya dapat dikenakan tindak pidana sertifikasi liar, tetapi kasus sejenis ini kemungkinan untuk dikenakan tindak pidana lain seperti paten, rahasia dagang, varietas tanaman dan yang lainnya sangat besar karena hampir seluruh ketentuan tersebut tidak memberikan perlindungan hukum bagi para petani. 





Tidak ada komentar:

Posting Komentar