KOPI ATENG OR KOPI SIGARAR UTANG
Memasuki Desa Parsorminan Kec. Pangaribuan, pemukiman leluhur saya, yang letaknya sekitar 20 kilometer dari Kota Tarutung , perjalanan saya disungguhi kebun-kebun kopi yang sedang berbuah. Cukup bikin tercengang melihat perubahan yang ada mengingat perjalanan (pertama dan) terakhir saya kemari sekitar 20 tahun yang lalu itu sangat berbeda. Waktu itu sepanjang jalan ini hanya ditumbuhi pohon-pohon besar dan jalan tanah yang rusak, tapi sekarang kendaraan saya bisa melenggang santai dan kebun-kebun kopi berserak.
Pohon Kopi Ateng yang cuma setinggi orang dewasa
Adalah si Kopi Ateng yang membuat kampung muasal saya ini bergeliat. Disebut Kopi Ateng karena pohon kopinya yang pendek-pendek tapi mampu berbuah lebat dan dipanen cepat. Petani lokal menggunakan istilah “Ateng” mungkin teringat dengan pelawak terkenal yang bertubuh pendek itu. Mungkin.
Kopi Ateng yang sedang berbuah
Kopi ini mampu meningkatkan perekonomian penduduk lokal di daerah ini. Kopi Ateng sendiri adalah subvarietas kopi Arabica yang menghasilkan bijih kopi baik (ketimbang kopi Robusta), namun berbuah banyak layaknya kopi Robusta serta dipanen lebih cepat yaitu kurang lebih 2 tahun sejak dibibit dibandingkan jenis Arabica murni yang harus menunggu 3 - 4 tahun. Cepatnya masa panen tersebut menyebabkan para penduduk lokal menyebut kopi ini adalah Kopi Sigarar Utang (bahasa batak), yang artinya kopi untuk membayar utang. Petani tak perlu lagi meminjam uang untuk modal usaha ataupun sekedar menutupi kebutuhan sehari-hari kepada koperasi ataupun rentenir (pada masa menunggu panen) karena panen Kopi Ateng yang cepat ini mampu segera memenuhi kebutuhan para petani, bahkan dipakai untuk membayar utang (yang pernah ada). Itu sebabnya, banyak ladang-ladang kemiri, bawang, cabe dan lain-lain dialih fungsikan menjadi kebun-kebun Kopi Ateng.
Lahan yang disiapkan untuk menanam Kopi Ateng *tampak jajaran kebun cabe
Masa produktif Kopi Ateng sendiri mencapai 10 tahun, sedangkan untuk periode panen petani dapat memungutnya sekali dalam 2 minggu. Jadi petani bisa menjual hasil panennya 2X sebulan dengan harga Rp 15.000-Rp 20.000 per kg. Harga ini jauh lebih tinggi jika kopi sudah kering. Berdasarkan penghitungan kasar penduduk lokal, hasil obrologi kami, lahan 0,5 (setengah) Hektar saja dapat menghasilkan kopi 200 kg (16 kaleng kopi/bulan). Nah dengan begitu si petani bisa mendapatkan Rp 3 juta - 4 juta. Gak heran kan mereka berlomba untuk menanam si Kopi Ateng.
Sedang menggiling bijih kopi
Kulitnya jatuh ke bawah, bijih kopi bersihnya masuk ke karung
Konon kabarnya, kopi ini diminati tidak hanya di daerah ini saja tapi juga di Pulau Jawa. Bahkan menurut cerita yang berkembang, warung kopi Starbucks yang terkenal seantero dunia itu, menggunakan kopi ini karena aroma harum dan citarasa enaknya. Sayang disayang, saya malah tidak sempat mencoba seduhan kopi panas si Ateng ini (????)
Bijih kopi yang telah digiling
Budidaya Kopi Ateng ini menyebar di pelosok-pelosok Sumatera Utara dan Nangroe Aceh Darusalam, bahkan Kopi Ateng ini diyakini pertama kali ditemukan di daerah Aceh Tengah oleh seorang kakek.
Saya sendiri tertarik dengan Kopi Ateng ini karena ketidaktahuan saya mengenai jenis kopi ini, padahal ngaku-ngaku suka kopi ;p Selain itu, ketertarikan ini juga karena saya dan suami pada masa pensiun bercita-cita membuka warung kopi dan teh pagi di kampung asal mertua (Siborong-borong) *haiyaaaaah. Kebayang habis panen kopi dari kebun sendiri, diolah, terus kopi diseduh sendiri di warung sendiri pula. Wooow !!!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar