Jumat, 29 Maret 2013

SISTEM HUKUM

Sistem Hukum 

Dalam konteks Indonesia, sistem hukum nasional adalah sebagai “suatu himpunan bagian hukum atau subsistem hukum yang saling berkaitan yang membentuk satu keseluruhan yang rumit atau kompleks tetapi merupakan satu kesatuan.” 

Dengan tolok ukur Pancasila dan titik tolak UUD 1945 sebagai konsep dasar sistem hukum nasional, maka sila-sila Pancasila sebagai dasar negara merupakan satu kesatuan, kebulatan dan keseluruhan (entity), nilai-nilai yang terkandung di dalamnya merupakan satu kesatuan yang menentukan sistem nilai di dalam sistem hukum nasional. 

Selanjutnya, sebagai konsekuensi dari proses pengesahan Kovenan Internasional Hak –hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya, maka Indonesia juga musti bersedia menerima/ menyetujui berbagai kewajiban yang terkandung di dalam suatu perjanjian internasional tesebut. Sehingga, secara nasional, bersifat konstitusional karena hanya pihak yang berwenang di dalam suatu negara (pemerintah atau parlemen) yang dapat menandatanganinya. Artinya, KIHESB harus dijadikan sebagai salah satu rujukan dalam perumusan dan penyusunan legislasi nasional. 

Dengan adanya sistem nilai demikian, maka bangsa Indonesia mempunyai tuntutan nilai yang menunjukkan arah dan tujuan yang ingin dicapai. Nilai-nilai tesebut juga menjadi kerangka acuan dalam memecahkan persoalan-persoalan dasar di bidang hukum yang mencakup perencanaan hukum (legislation planning), proses pembentukan hukum (law making process), penegakan hukum (law enforcement), dan kesadaran hukum (law awareness). 

Kesadaran hukum hukum ini dipahami sebagai bagian budaya dari budaya hukum (legal culture). Dengan demikian, sistem hukum nasional menyerap sistem nilai yang terdiri atas sejumlah nilai yang saling berkaitan yang bersumber dari pandangan hidup bangsa Indonesia, sehingga merupakan sistem hukum yang serasi dengan semangat keadilan dan cita-cita hukum, serasi dengan pandangan mengenai keadilan (sense of justice).

Dalam Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/1999, arah kebijakan sub-A Hukum angka 2, dirumuskan: “Menata system hukum nasional yang menyeluruh dan terpadu dengan mengakui dan menghormati hukum agama dan hukum adat serta memperbarui perundang-undangan warisan colonial dan hukum nasional yang diskriminatif, termasuk ketidakadilan gender dan ketidaksesuaiannya dengan tuntutan reformasi melalui program legislasi.” 

Rumusan di atas menggariskan bahwa “menata sistem hukum nasional yang menyeluruh dan terpadu” merupakan suatu amanat yang harus dilaksanakan. Sistem hukum nasional yang dijiwai Pancasila dan bersumber pada hukum positif tertinggi, yaitu Konstitusi (UUD 1945) sebagai supreme law of the land,yang mampu menjamin kepastian, ketertiban, penegakan dan perlindungan hukum yang berintikan keadilan dan kebenaran. 

Dengan demikian, sub-subsistem hukum sebagai keseluruhan dalam system hukum nasional, satu sama lain berkaitan dalam hubungan yang harmonis, dalam arti selaras, serasi, seimbang dan konsisten serta tidak berbenturan, oleh karena memiliki asas yang terintegrasi dan dijiwai Pancasila serta bersumber pada UUD 1945. Sesuai dengan lingkup pengaturannya, aturan-aturan hukum dikelompokkan menjadi kelompok bidang hukum tertentu yang selanjutnya dapat dibagi menjadi sub-subsistem yang memiliki asas yang terintegrasi sehingga harmonis, selaras, serasi, seimbang dan konsisten. 

Selanjutnya, guna mengukur dan memberikan kualifikasi terhadap sistem hukum sebagai sistem hukum yang mengandung moralitas tertentu, diletakkan pada delapan “principles of legality”, yaitu:

Peraturan harus berlaku juga bagi penguasa, harus ada kecocokan atau konsistensi antara peraturan yang diundangkan dengan pelaksanaannya; dituangkan dalam aturan-aturan yang berlaku umum, artinya suatu system hukum harus mengandung peraturan-peraturan dan tidak boleh sekadar mengandung keputusan-keputusan yang bersifat sementara atau ad hoc; 

Aturan-aturan yang telah dibuat harus diumumkan kepada mereka yang menjadi obyek pengaturan kebijakan-kebijakan tersebut; 

Tidak boleh ada peraturan yang memiliki daya laku surut atau harus non-retroaktif, karena dapat merusak integritas peraturan yang ditujukan untuk berlaku bagi waktu yang akan datang; 
  1. Dirumuskan secara jelas, artinya disusun dalam rumusan yang dapat dimengerti; 
  2. Tidak boleh mengandung aturan-aturan yang bertentang satu sama lain; 
  3. Tidak boleh mengandung beban atau persyaratan yang melebihi apa yang dapat dilakukan; 
  4. Tidak boleh terus menerus diubah, artinya tidak boleh ada kebiasaan untuk sering mengubah-ubah peraturan sehingga menyebabkan seseorang akan kehilang orientasi; 
  5. Harus ada kecocokan atau konsistensi antara peraturan yang diundangkan dengan pelaksanaan sehari-hari. 

Buku Rujukan
  1. M. Solly Lubis, dalam Kusnu Goesnadhie, Harmonisasi Hukum, JP Books, Surabaya, 2006, hlm. 73 
  2. Sistem Hukum Nasional Indonesia terdiri atas (i) sejumlah unsur atau komponen yang selalu saling mempengaruhi dan terkait satu sama lain oleh satu atau beberapa asas; (ii) asas utama yang mengkaitkan semua unsure atau komponen hukum nasional yaitu Pancasila dan UUD 1945, di samping asas hukum lain yang berlaku di dalam dan bagi disiplin hukum tertentu; (iii) semua unsure atau komponen itu terpaut dan terorganisir menurut suatu struktur atau pola yang tertentu, sehingga senantiasa saling mempengaruhi. 
  3. Archibald Cox, 1979, The Role of Supreme Court in American Government, Oxford University Press, hlm. 13 
  4. Lon L. Fuller dalam Kusnu Goesnadhie, Harmonisasi Hukum, JP Books, Surabaya, 2006, hlm. 89

Tidak ada komentar:

Posting Komentar