Minggu, 31 Maret 2013

Telaga Ngebel Ponorogo

Baru Klinting, Telaga Ngebel Ponorogo 

Ponorogo, selain terkenal dengan Reyognya, juga terkenal dengan telaga Ngebelnya yang sejuk, asri, dan siap ‘mencuci mata’ pengunjungnya. Ini merupakan salah satu obyek tujuan wisata alam di Ponorogo, belum lengkap bila belum menengok salah satu tempat wisata paling legendaris dan paling populer ini. Telaga Ngebel ini berada di Kecamatan Jenangan, daerah Ponorogo Timur yang berdekatan dengan gunung Wilis. “Ngebel” berasal dari bahasa Jawa, ‘ngembel‘ atau berair; jaman dahulu, ada seorang Wara’i atau orang yang sakti ilmu kanuragan dan ilmu agamanya melewati suatu daerah di kawasan Ponorogo dan melihat fenomena tanah yang berair itu. Maka sang Wara’i pun berujar: “Ana sak wijining jaman, tlatah iki kasebut Ngembel – pada suatu saat nanti daerah ini bernama Ngembel”. Tetapi karena lidah yang salah kaprah dalam waktu yang lama dan turun temurun, maka Ngembel pun berubah menjadi Ngebel. 

Masyarakat Ngebel sendiri memiliki dongeng tentang asal muasal Telaga yang menjadi icon Ponorogo. Jaman dahulu, ada sepasang suami istri yang tinggal di kampung yang melahirkan anak seekor ular naga. Naga itu diberi nama Baru Klinting. Melihat keanehan wujud Baru Klinting ini, mereka tak berani tinggal di kampung tersebut karena takut menjadi bahan gunjingan tetangga. Suatu hal yang tak masuk akal adalah mengapa “sepasang manusia memiliki anak seekorular naga?” Namun, itulah adanya. Mereka pun mengungsi ke puncak gunung untuk mengasingkan diri dan memohon pada Sang Hyang Widhi agar mengembalikan rupa putra mereka ke wujud manusia. Doa itu pun didengar. Syarat yang harus dilakukan oleh Baru Klinting adalah melakukan pertapaan selama 300 tahun dengan cara melingkarkan tubuhnya di gunung Semeru. Sayang, panjang tubuhnya kurang sejengkal untuk bisa melingkari seluruh gunung. Maka, untuk menutupi kekurangan itu, ia menyambungkan/ menjulurkan lidahnya hingga menyentuh ujung ekornya. Rupanya, syarat untuk menjadi manusia tak hanya itu. Sang Hyang Widhi meminta sang Ayah agar memotong lidah Baru Klinting yang sedang bertapa tersebut. Baru Klinting yang bersemedi tak menolak toh demi kebaikannya agar menjadi manusia. 

Saat waktu bertapa hampir selesai, ada kepala kampung yang akan menikahkan anaknya. Kepala kampung ini sibuk mempersiapakan segala sesuatunya, terlebih lagi soal hidangan. Konon, mereka akan menggelar pesta pernikahan yang sangat mewah dan sangat besar. Untuk menutupi kekurangan bahan makanan, secara sukarela warga membantu berburu di hutan. Ada yang mencari buah-buahan, ranting/ kayu bakar hingga hewan buruan seperti rusa, kelinci, maupun ayam hutan. Tanpa sengaja, ada sekelompok warga yang mengayunkan parangnya pada pokok pohon tumbang. Namun, alangkah kagetnya mereka ternyata parang itu malah berlumuran darah. Dari pokok pohon tumbang itu mengucur darah segar. Bahkan, mereka baru sadar kalau yang mereka tebas tadi bukan pohon tumbang tetapi ular raksasa/ ular naga. Melihat hal ini, warga pun beramai-ramai mengambil dagingnya untuk dimasak dalam pesta pernikahan tersebut. 

Hari H pesta adalah hari berakhirnya pertapaan Baru Klinting. Benar saja, naga itu berubah wujud menjadi anak kecil. Sayangnya, si anak mengalami kesusahan dalam berbicara karena lidanya dipotong sebagai syarat menjadi manusia. Tak hanya itu, tubuhnya penuh dengan borok yang membusuk lantaran saat bertapa tubuhnya disayat-sayat untuk diambil dagingnya oleh warga sebagai bahan pesta. Lalu, anak itu mendatangi pesta kepala kampung. Anak itu kelaparan dan memohon agar diberi makanan. Namun, tak satu pun warga yang memedulikannya. Warga malah mengejek dan mengusir anak kecil itu. Melihat nasib anak itu, seorang wanita tua merasa kasihan dan membawanya pulang. Lalu si anak diberi makan dengan lauk berupa daging yang diterima dari pesta kepala kampung. Si anak pun makan dengan lahap tapi dia tak mau memakan daging itu. “Bu, saya pikir sudah tak ada lagi orang baik di kampung ini. Rupanya, masih ada orang seperti Anda. Ketahuilah, sebentar lagi kampung ini akan tenggelam. Maka dari itu, mengungsilah” Begitu pesan Baru Klinting selesai makan. Si wanita tua itu pun menuruti ucapan Baru Klinting tanpa banyak pertanyaan. 

Lalu, Baru Klinting pun kembali ke tempat pesta. “Wahai warga semua, lihatlah di tanganku. Aku memiliki sekerat daging. Jika kau mampu memenangkan sayembara yang kuadakan, maka ambillah daging ini. Namun, jika kalian tak mampu, maka berikanlah semua daging yang kalian masak padaku” ucap Baru Klinting. Lalu, Baru Klinting pun menancapkan sebatang lidi ke tanah. “Barang siapa yang mampu mencabutnya, maka kalian memenangkan sayembara ini”. Warga pun mencoba satu per satu. Semuanya tak mampu mencabut sebatang lidi tersebut. Sayangnya, warga tetap tak mau mengembalikan daging yang telah mereka masak. “Lihatlah ketamakan kalian wahai manusia. Lihatlah ketidak pedulian kalian pada sesama, pada manusia yang cacat sepertiku. Bahkan kalian tidak mau mengembalikan hakku. Ketahuilah, daging yang kalian masak itu adalah dagingku saat aku menjadi ular naga. Maka, kalian berhak mendapatkan balasan setimpal. Baru Klinting pun segera mencabut lidi tersebut. Keanehan pun terjadi. Dari lidi itu mengucur air, terus menerus hingga menenggelamkan kampung tersebut. Bahkan sejak itu pula, Baru Klinting berubah lagi menjadi ular dengan melingkarkan tubuhnya di dasar telaga yang bentuknya menyempit di bagian bawah itu. Saat ini, telaga itu masuk daerah Ngebel sehingga terkenal dengan telaga Ngebel. 




Tidak ada komentar:

Posting Komentar